Perjalanan ini sudah panjang, sobat. Artinya pula, Islam
sudah menorehkan banyak jejak bagi dunia selama lebih dari 1400 tahun.
Luar biasa. Masya Allah. Alhamdulillah.
Lalu, bagaimana dengan kita? Kalo mau dipikir-pikir sih, setiap hari
juga kita menjejakkan sejarah dalam kehidupan kita. Banyak sudah
peristiwa kita lalui dan rasakan. Sayangnya, banyak di antara kita yang
melupakan (atau bahkan mengabaikan?) begitu saja. Tanpa ada hal yang
istimewa dan memberi kesan dan manfaat. Rugi ya? Tentu saja. Sebab,
selain waktu terus berputar tanpa kenal kompromi dan nggak peduli apakah
manusia mau memanfaatkan atau mengabaikan waktu bagi mereka, juga waktu
tak akan kembali dan menyapa kita untuk segera sadar. Tidak. Waktu
terus berjalan lurus ke depan. Kita yang kudu menyesuaikan agar tak
tertinggal atau malah terlindas tak bersisa.
Hijrah dan sejarah penanggalan hijriyah
Oya, ngomong-ngomong soal hijrah, ini tentu ada kaitannya dengan
penanggalan hijriyah. Mau tahu sejarahnya? Begini latar belakangnya.
Sebagian besar saya kutip dari wesbite muslim.or.id (dengan sedikit perubahan dan perbaikan yang disesuaikan dengan gaya remaja—termasuk ejaan).
Berawal dari surat-surat tak bertanggal, yang diterima Abu Musa
al-Asy-‘Ari radhiyahullahu’anhu; sebagai gubernur Basrah kala itu, dari
khalifah Umar bin Khatab. Abu Musa mengeluhkan surat-surat tersebut
kepada Sang Khalifah melalui sepucuk surat,
إنه يأتينا منك كتب ليس لها تاريخ
“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Anda, tanpa tanggal.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
إنَّه يأتينا مِن أمير المؤمنين
كُتبٌ، فلا نَدري على أيٍّ نعمَل، وقد قرأْنا كتابًا محلُّه شعبان، فلا
ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي
“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin, namun
kami tidak tau apa yang harus kami perbuat terhadap surat-surat itu.
Kami telah membaca salah satu surat yang dikirim di bulan Sya’ban. Kami
tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Sobat gaulislam, tersebab kejadian ini kemudian Umar bin Khatab
radhiyallahu ‘anhu mengajak para sahabat untuk bermusyawarah; menentukan
kalender yang nantinya menjadi acuan penanggalan bagi kaum muslimin.
Ketika berlangsung musyawarah antara Khalifah Umar bin Khatab dan para
sahabat, muncul beberapa usulan mengenai patokan awal tahun.
Ada yang mengusulkan penanggalan dimulai dari tahun diutus Nabi
shallallahu’alaihiwasallam. Sebagian lagi mengusulkan agar penanggalan
dibuat sesuai dengan kalender Romawi, yang mana mereka memulai hitungan
penanggalan dari masa raja Iskandar (Alexander). Yang lain mengusulkan,
dimulai dari tahun hijrahnya Nabi shallallahu’alaihiwasalam ke kota
Madinah. Usulan ini disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu’anhu. Hati Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu ternyata
condong kepada usulan yang disampaikan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu,
الهجرة فرقت بين الحق والباطل فأرخوا بها
“Peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang benar dan yang batil.
Jadikanlah ia sebagai patokan penanggalan.” Kata Umar bin Khatab
radhiyallahu’anhu mengutarakan alasan.
Akhirnya para sahabatpun sepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah
sebagai acuan tahun. Landasan mereka adalah firman Allah ta’ala,
لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى? مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيه َ
Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. (QS at-Taubah [9]:108)
Para sahabat memahami makna “sejak hari pertama” dalam ayat, adalah
hari pertama kedatangan hijrahnya Nabi. Sehingga momen tersebut pantas
dijadikan acuan awal tahun kalender hijriyah.
Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahillah dalam Fathul Bari
menyatakan, “Pelajaran dari as-Suhaili: para sahabat sepakat menjadikan
peristiwa hijrah sebagai patokan penanggalan, karena merujuk kepada
firman Allah ta’ala surah at-Taubah ayat 108 tersebut.
Sudah suatu hal yang maklum; maksud hari pertama (dalam ayat ini)
bukan berarti tak menunjuk pada hari tertentu. Nampak jelas ia
dinisbatkan pada sesuatu yang tidak tersebut dalam ayat. Yaitu hari
pertama kemuliaan Islam. Hari pertama Nabi shallallahu’alaihiwasallam
bisa menyembah Rabnya dengan rasa aman. Hari pertama dibangunnya masjid
(red. masjid pertama dalam peradaban Islam, yaitu masjid Quba). Karena
alasan inilah, para sahabat sepakat untuk menjadikan hari tersebut
sebagai patokan penanggalan.
Dari keputusan para sahabat tersebut, kita bisa memahami, maksud
“sejak hari pertama” (dalam ayat) adalah, hari pertama dimulainya
penanggalan umat Islam. Demikian kata beliau. Dan telah diketahui bahwa
makna firman Allah ta’ala: min awwali yaumin (sejak hari pertama)
adalah, hari pertama masuknya Nabi shallallahu’alaihiwasallam dan para
sahabatnya ke kota Madinah. Allahua’lam. ” (Fathul Bari, 7/335)
Saudaraku yang berbahagia, perbincangan berlanjut seputar penentuan awal bulan
kalender hijriyah. Sebagian sahabat mengusulkan bulan Ramadhan. Sahabat
Umar bin Khatab dan Ustman bin Affan mengusulkan bulan Muharram.
بل بالمحرم فإنه منصرف الناس من حجهم
“Sebaiknya dimulai bulan Muharam. Karena pada bulan itu orang-orang
usai melakukan ibadah haji.” Kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu.
Akhirnya para sahabatpun sepakat.
Alasan lain dipilihnya bulan muharam sebagai awal bulan diutarakan
oleh Ibnu Hajar rahimahullah, “Karena tekad untuk melakukan hijrah
terjadi pada bulan muharam. Dimana baiat terjadi dipertengahan bulan
Dzulhijah (bulan sebelum muharom). Dari peristiwa baiat itulah awal mula
hijrah. Bisa dikatakan hilal pertama setelah peristiwa bai’at adalah
hilal bulan muharam, serta tekad untuk berhijrah juga terjadi pada hilal
bulan muharam (red. awal bulan muharam). Karena inilah muharam layak
dijadikan awal bulan. Ini alasan paling kuat mengapa dipilih bulan
muharam.” (Fathul Bari, 7/335)
Dari musyarah tersebut, ditentukanlah sistem penanggalan untuk kaum
muslimin, yang berlaku hingga hari ini. Dengan menjadikan peristiwa
hijrah sebagai acuan tahun dan bulan muharam sebagai awal bulan. Oleh
karena itu kalender ini populer dengan istilah kalender hijriyah.
Ayo, tinggalkan keburukan!
Sesuai judulnya dan juga saat dihubungkan dengan sejarah penanggalan
hijriyah, maka momen ini nggak ada salahnya kalo dijadikan sebagai
cambuk kesadaran untuk hijrah menuju kebaikan. Itu sebabnya, mulai
sekarang kita belajar untuk berani meninggalkan keburukan. Harus berani
dan punya semangat untuk meninggalkan keburukan. Kebaikan harus segera
disambut dan dilaksanakan. Bahkan berlomba-lomba dalam membuat kebaikan.
Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.” (QS al-Baqarah [2]: 148)
Suatu ketika ada seseorang yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya bertanya,
“Wahai
Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?” Lalu, beliau
menjawab, “Bersedekah selama kamu masih sehat, bakhil (suka harta),
takut miskin, dan masih berkeinginan untuk kaya. Dan janganlah kamu
menunda-nunda, sehingga apabila nyawa sudah sampai di tenggorokan maka
kamu baru berkata, “Untuk fulan sekian dan untuk fulan sekian’, padahal
harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli warisnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Saudaraku yang baik hati, Rasul mulia shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
“Bersegeralah
menunaikan amal-amal kebajikan. Karena, saatnya nanti akan datang
banyak fitnah, bagaikan penggalan malam yang gelap gulita. Betapa bakal
terjadi seseorang yang di pagi hari dalam keadaan beriman, di sore
harinya ia menjadi kafir. Dan seseorang yang di waktu sore masih
beriman, keesokan harinya menjadi kafir. Ia menjual agamanya dengan
komoditas dunia.” (HR Bukhari dan Muslim)
Yuk, jangan ditunda-tunda lagi untuk berbuat baik (dan tentu saja
sekaligus segera meninggalkan keburukan). Kita tiap hari menikmati hidup
dan kehidupan yang Allah Ta’ala berikan. Aneh banget kalo sampe kita
nggak bersyukur dan nggak mau berubah untuk jadi lebih baik. So,
mumpung momen awal tahun baru hijriyah, di bulan Muharram pula, kita
nyadar dan segera benahi diri jadi lebih baik. Itu sebabnya, yang masih
pacaran, yang masih sering bolos sekolah, masih nggak hormat sama ortu
dan guru, masih sering maen judi, sering nenggak miras, hobi tawuran dan
seabrek kemaksiatan lainnya, segera hentikan, jauhi, dan tinggalkan.
Cukup sampe di sini. Lalu, isi dengan beragam kebaikan berupa ibadah dan
amal shalih lainnya. Berdoa selalu agar hati kita Allah Ta’ala tetapkan
dalam Islam dan kebaikannya. Semangat!
Tulisan ini di kutip dari[O. Solihin | Twitter @osolihin]
bagus
BalasHapus