Sabtu, 24 Desember 2016

Terapkan Islam Agama Terjaga

Sobat sekalian, sebelum membahas tema diatas mari kita niatkan untuk selalu membagikan info atau berita gembira untuk saudara seislam kita agar dapat selalu bermanfaat dan tersebar ke banyak kalangan. In sya Allah manfaatnya bisa dirasakan ribuan atau bahkan jutaan orang. Semoga.

Nah, sekarang kita ngomongin pembahasan sesuai judul ya. Bro en Sis, kepribadian Islam atau syakhsiyyah islamiyah kita itu nggak bisa dinilai langsung dari pakaian yang dikenakan, lho. Sebab, itu cuma aksesoris dan bisa dipake untuk nipu bin ngibulin orang. Tapi standar penilaian kepribadian Islam adalah pemikiran dan perasaan. Pemikiran dan perasaan Islam ini akan tergambar dalam sikap dan perbuatan. Itu udah pasti. Sebab, yang namanya tingkah laku pasti ngikutin pemikiran dan perasaan. So, kalo pemikiran dan perasaannya udah islami, insya Allah perbuatan dan tingkah laku juga bakalan islami.

Itu sebabnya, kalo ada akhwat yang kepribadiannya udah islami, maka bukan saja ia gemar mengenakan jilbab dan kerudung, tapi juga pemikiran dan perasaannya senantiasa berdasarkan ajaran Islam. Beda banget kalo yang cuma nyadar dengan simbol doang, tapi belum mantap pemikiran dan perasaannya. Mungkin cuma seneng pake kerudung doang tapi pemikiran dan perbuatannya nggak mencerminkan seorang muslimah. Iya nggak sih? Tetot, jangan bengong. Buktinya, banyak tuh di lingkungan sekitar kita yang begitu penampilannya. Tugas kita yang tahu, ya mengingatkan dan menyadarkan. Salah satunya dengan membagikan artikel ini. Setuju? Harus!

Sobat Rahimakumullah, satu-satunya jalan untuk menumbuhkan kepribadian Islam kita adalah belajar. Yakni, belajar Islam dengan rutin dan intensif biar mantap, gitu lho. Kenapa harus belajar? Karena dengan belajar diharapkan kita bisa dapetin perubahan beberapa aspek, yakni aspek kognitif alias ilmu pengetahuan (tadinya nggak tahu tentang Islam jadi tahu banyak), aspek afektif alias perasaan atau emosi (tadinya nggak mau mengenakan jilbab jadi mau mengenakan jilbab karena tahu aturan dan hukumannya–pahala dan dosa), dan aspek psikomotorik alias keterampilan (tadinya nggak bisa pake jilbab jadi mahir pakenya). Lagian tutorialnya nggak ribet kok. Nggak kayak tutorial pake hijab yang ribet seperti yang dipraktekkan komunitas hijaber yang lebih peduli fashion ketimbang syar’i. Maaf lho. Bukan nuduh, tapi ngingetin aja. Oke?

So, mari kita belajar mengkaji Islam dengan rutin dan intensif untuk membentuk kepribadian Islam kita. Rutin bisa seminggu sekali, misalnya. Intensif berarti materinya berkesinambungan. Membentuk kerangka berpikir yang utuh tentang Islam. Sehingga kita lebih mantap karena tahu ilmunya. Nggak asal ikut-ikutan tren doang. Betul nggak sih? So, jangan takut jadi pinter dan shaleh-shalihah ya!

Harus mau diatur sama Islam
Waduh, kalo kita nggak mau diatur sama Islam, kayaknya kudu pada istighfar deh. Sori bukannya nakut-nakutin, tapi emang kenyataan kok. Minta ampunan buruan sama Allah Ta’ala. Tobat gitu lho. Bener sobat, sebab sebagai muslim maka tentu aja aturan kita cuma Islam. Bukan yang lain. Soalnya nih, sungguh sangat aneh bin ajaib kalo kita ngaku-ngaku muslim, tapi nggak mau diatur sama Islam. Aneh pula kalo kita ngaku-ngaku cinta sama Islam tapi nggak menjadikan Islam sebagai aturan hidup kita. Nggak menjadikan Islam sebagai cara hidup kita. Piye iki?

Itu sebabnya, rasa-rasanya kita pantas malu kalo ngaku-ngaku muslim tapi gaul bebas dengan lawan jenis jadi kebiasaan kita, bahkan tradisi turun-temurun. Padahal, itu dilarang lho dalam ajaran Islam. Kita juga kudu malu kalo ngaku-ngaku muslim tapi kita doyan mengonsumsi narkoba dan miras. Padahal, narkoba dan miras jelas barang haram untuk dikonsumsi oleh seorang muslim. Jadi, aturan siapa yang kita pake? Hawa nafsu kita atau aturan buatan manusia lainnya? Nyadar sobat, kalo kita nggak mau hidup bersama Islam, buat apa kita nyandang predikat muslim. Betul nggak?

Sobat seka
lian, terlalu banyak fakta yang bisa kita jadikan bahan renungan tentang keberadaan kita sebagai muslim: apa kita udah benar-benar ikhlas diatur sama Islam? Soalnya nih, kita bisa aja ngaku-ngaku cinta sama Islam tapi pas praktiknya malah nggak mau diatur sama Islam, karena lebih mentingin hawa nafsu kita. Buktinya, sholat lima waktu aja banyak yang bolong-bolong melaksanakannya dengan banyak alasan (terutama malas). Mungkin itu masih mending daripada nggak sama sekali. Tapi yang jelas sih, tetep aja hal itu adalah perbuatan tercela.

Selain urusan sholat, juga kejujuran. Misanya nih, pas lagi ujian malah nyontek. Padahal, kita diajarin untuk jujur dalam Islam. Belum lagi kalo dalam urusan berpakaian. Banyak kaum muslimin sebenarnya dalam urusan sholat taat bukan main, tapi pas berpakaian malah pake aturan selain Islam. Jadinya ancur bukan main. Buktinya banyak kok remaja cewek yang nggak mau pake jilbab dan kerudung kalo ke luar rumah dengan banyak alasan. Nggak sedikit juga anak cowok yang kalo keluar rumah cuma pake kolor doang, hingga lututnya dipamerin ke banyak orang dan udelnya dibiarin tebar pesona. Padahal, semua itu udah ada aturannya dalam Islam, yakni larangan memperlihatkan aurat di depan umum. Iya kan? Coba deh kembali direnungkan: di mana kepribadian Islammu kamu letakkan?

Jangan sampe sesat dan menyimpang
Bro en Sis rahimakumullah, coba kita merenung sejenak en pikir-pikir tentang keberadaan kita saat ini. Malu nggak sih kalo kita dapetin predikat muslim dan seharusnya memiliki kepribadian Islam, sementara kita nggak mau diatur sama aturan Islam? Padahal, dengan predikat muslim itu kita jadi punya komunitas dan memiliki ciri khas. So, kalo menjauh dari Islam dan aturannya, bukan tak mungkin kita bakalan sesat. Termasuk nih, kalo kita menyimpang dari ajaran Islam karena nggak mau diatur sama Islam, ada kemungkinan juga akhirnya celaka karena akan dapetin azab Allah di akhirat nanti. Sumpah!

Firman Allah Ta’ala. tentang orang-orang yang sesat akibat menjauh dari kebenaran Islam: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 256)

Dalam ayat lain Allah Ta’ala menjelaskan: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS al-Ahzab [33]: 36)

Nah, yang berkaitan dengan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran Islam, Allah Swt. berfirman: “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api neraka Jahannam”. (QS al-Jin [72]: 14-15)

Sobat Sekalian, beberapa ayat yang dipaparin ini bukan cuma sekadar informasi belaka apalagi sekadar dipamerin doang. Tapi emang kudu jadi wawasan pengetahuan dan dipahami serta diamalkan dalam aktivitas kehidupan kita. Soalnya rugi banget kalo kita cuma kenal Islam tapi sebatas pengetahuannya aja, itu pun hanya untuk dapetin nilai bagus di rapor atau transkrip nilai ijazah. So, sangat boleh jadi banyak dari kita yang tahu cara sholat, tahu bilangan rokaat sholat sehari semalam, tahu tentang ibadah zakat dan puasa, tahu juga bahwa al-Quran adalah pedoman hidup kaum muslimin. Oke, secara teori kita boleh dibilang mantep banget dah, tapi pelaksanaannya? Hmm.. nol besar. Why? Karena kita nggak ngamalin tuh aturan.

“Waah, jangan nuduh kejam gitu dong,” teriak sebagian dari kamu protes. Oke..oke.. sori deh. Mungkin ada juga sih di antara kita yang ngamalin dan taat sama aturan Islam. But, dalam pelaksanaannya malah setengah-setengah. Trus, nggak nutup kemungkinan juga kita pilih-pilih aturan Islam. Mana aturan yang cocok dengan selera kita ya diamalkan, kalo aturan Islam tuh nggak suka menurut ukuran kita ya ditinggalin dah. Halah! Ati-ati deh, Bro!
Bro en Sis rahimakumullah, yuk kita cintai Islam sepenuh hati kita. Jangan setengah-setengah, jangan pilih-pilih aturan, apalagi sampe nggak taat sama sekali dengan seluruh aturan Islam. Jangan sampe deh. Kalo sampe itu terjadi, kamu pantas dapetin pertanyaan: mana kepribadian Islammu?

Dikutip dari https://osolihin.wordpress.com/2016/10/17/mana-kepribadian-islammu/[O. Solihin | Twitter @osolihin]

Selasa, 13 Desember 2016

PPAP Membawa Dampak Buruk

I have a pen, I have pineapple uh… pineapple pen!”

Well, sobat sekalian, mungkin sebagian dari kamu udah pernah denger lirik itu, yang sekarang lagunya booming di medsos-medsos. Saking booming-nya, temen sekamar aku di pesantren sampe nyanyiin berkali-kali lagu ini.

Itu adalah sedikit dari lirik lagu ‘Pen Pineapple Apple Pen’ (PPAP) yang dinyanyiin sama komedian asal Jepang, Kazuhiko Kosaka yang lebih dikenal sebagai Piko Taro. Setelah ngeliat versi asli video yang diunggah ke Youtube itu, aku sebenernya bingung sendiri, apa sih keistimewaan video itu sampai-sampai lagu dan dance-nya marak dinyanyikan dan digerakkan? Padahal Piko Taro cuma ngelakuin gerakan-gerakan simpel sambil nyanyiin lagu yang liriknya nggak kalah simpel dan cenderung tidak ada artinya dengan memakai pakaian bermotif konyol dan terkesan salah tema sama apa yang dia nyanyiin.

Hebatnya lagi, selain lagu dan dance-nya banyak di-cover-in orang, meme PPAP ini banyak ditemui di internet!

Lucu-lucuan dan hiburan semata
Sobat sekalian, kalo kamu ditanya apa sih yang bikin suka nyanyiin lagu PPAP ini, kamu bakal jawab apa? Lucu karena gerakan dan kostum yang dipakai Piko Taro? Atau cuma karena banyak orang nyanyiin ini makanya kamu semua ikut-ikutan? Atau karena sekadar mengisi waktu luang?

Waktu ditanya ke temen aku, kenapa dia suka nyanyiin lagu PPAP ini, jawaban dia bener-bener nggak masuk akal dan menurut aku, agak sedikit kurang kerjaan. Dia bilang, karena lagu dan gerakannya lucu.
Well, well, sesuatu yang lucu bagi beberapa orang memang cukup menghibur, tapi apa itu bisa menjadi alasan yang cukup sampai dinyanyiin dan ngeluangin waktu cuma untuk nge-cover lagu dan dance-nya?
Bro en Sis yang insyaallah muslim dan muslimah sejati, di antara tanda baiknya seorang muslim adalah ia meninggalkan hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat baginya. Waktunya juga cuma diisi sama hal-hal yang bermanfaat buat dunia dan akhirat.

Nah, loh, kalau kita ngikutin PPAP cuma karena alasan lucu dan menghibur, apalagi hanya karena ikut-ikutan orang, apa itu jadi tanda kalau kita ada di antara tanda baik seorang muslim? Ding dong, jawabannya, nggak.
Mau bukti? Nih, yah, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, dari Abu Hurairah radiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alahi wa salam, beliau bersabda yang artinya, “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan yang tidak bermanfaat.”

Aku ulangi, yah, meninggalkan yang tidak bermanfaat. Nah, kalau cuma untuk lucu-lucuan, ngehibur, ngisi waktu luang, apalagi ikut-ikutan, buat apa kita harus menggunakan PPAP sebagai sarananya? Padahal banyak hal yang bisa dijadiin sebagai lucu-lucuan, ngehibur, ngisi waktu luang, dan ikut-ikutan yang lebih bermanfaat.

Kalau cuma lucu-lucuan, ada tuh dedek bayi tetangga yang pipinya tembem dan minta dijawil karena gemes, atau bercanda sama adik, temen, sodara dan kakak yang pastinya bisa mengikat tali silaturahmi tanpa harus bawa makanan, salam-salaman, maaf-maafan atau bagi-bagi angpau. Tambah lagi hal itu cukup menghibur yang bisa sampai taraf ke sangat menghibur kalau dedek bayinya emang lucuuu banget dan adik, temen, sodara atau kakak kamu memang humoris dan nggak nyebelin.

Ngisi waktu luang dengan nyanyiin atau nge-cover PPAP juga bisa banget diganti ke yang jauuuh lebih bermanfaat. Misalnya baca al-Quran yang nggak cuma ngisi waktu luang, tapi juga nambahin pahala. Kan enak, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Atau kalau kamu males (tapi jangan keseringan, yah) baca al-Quran, bisa dengerin murrotal-nya aja, daripada dengerin lagunya PPAP atau lagu lainnya yang nggak ada manfaatnya. Lebih bagus lagi kalau sambil dihafalin sampe tiga puluh juz, kan keren banget bisa ngasih mahkota ke orangtua di surga. Setuju? Kudu!

Oya, kalo memang bener di antara kamu ada yang nyanyiin atau nge-cover lagu PPAP cuma karena ikutan, aku saranin jangan ikutin lagi. Mending ngikutin aja orang-orang yang melakukan sesuatu yang berguna dan bermanfaat. Misalnya, ikutin aja adek-adek kecil yang lucu dan manis di layar tivi kamu yang menghapal al-Quran supaya orangtuanya bisa umrah ke Mekkah. Kali aja kan, ada orang dari tivi tiba-tiba dateng terus kasih tiket terbang ke Mekkah buat umrah atau malah naik haji. Amin banget deh, kalau sampe khayalan itu terjadi!

Arti lain PPAP
Masih merasa kurang sama penjelasan yang tadi? Duh, duh, Bro en Sis, aku mau tanya lagi nih ya, sebelum kamu semua nyanyiin lagu PPAP ini, kamu tahu, atau seenggaknya pernah bertanya-tanya nggak sih, apa arti dibalik lagu PPAP?

Awalnya mungkin kamu semua ngira kalau lagu dan gerakan simpel bin sederhana yang bahkan bisa dilakuin anak umur lima tahun ini, sebagai hiburan semata. Tapi kalau kamu pikirin lagi, kamu bakal nemuin kalau lagu dan gerakan dalam PPAP mengarah ke hal lain yang lebih berbahaya.

Pada nggak nyangka, kan? Jujur nih, yah, terkadang kalo aku nemuin sesuatu yang booming dan nggak berarti apa-apa kecuali sering dianggap lucu dan sebagai media hiburan, aku sering kali berpikir mungkin itu punya makna lain. Sebagai contoh, yah, lagu PPAP ini.

Dilansir dari idigitaltimes.com yang ngebahas tentang PPAP juga, yang kebetulan aku temuin pas lagi searching tentang PPAP, mereka mengemukakan kalau internet menemukan arti di balik lagu PPAP yang, seperti aku bilang tadi, berbahaya. Kenapa berbahaya? Karena itu mengarah ke arti seksual. Aku kasih tahu lagi, yah, bukan hanya di gerakan (dance) tapi lagu PPAP juga mengarah ke sesuatu yang berbahaya. Bah, kalau udah ngebahas tentang ini, nggak bakal ada abisnya deh, pasti.

So, udah yakin belum buat ninggalin PPAP dan segala remeh temehnya? Kalau ada yang masih ragu, aku tambahin, nih, ya, Ibnu Rajab bilang, “Jika seseorang meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, kemudian menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat, maka tanda baik Islamnya telah sempurna.”

Kamu semua pasti mau banget tanda baik Islam ada pada diri kamu, makanya tinggalin aja deh, PPAP-nya. Udah aku jabarin kan, tadi, Kalau PPAP itu lebih banyak mudhorotnya dari pada baiknya.
Haduh, haduh, kalau ada orang bilang kamu kudet karena nggak respect sama PPAP, abaikan aja, terus bilang dengan tampang paling cool kamu ke orang-orang itu, “Gua lebih mencintai Allah dan menanti surga-Nya, daripada buang-buang waktu buat respect sama PPAP yang tinggal tunggu waktu aja ilang termakan zaman.”

Nggak berhenti di situ aja, setelah bilang kayak gitu kamu juga harus buktiin dong, kalau Allah dan surga-Nya memang jauuuh lebih penting dari pada PPAP yang nggak lebih dari lucu-lucuan dan hiburan sesaat. Aku ulangi, sesaat!

Talk less, do more!
Sobat sekalian, pada pernah denger iklan yang ngebahas tentang itu, nggak? Hehe… kalau udah, mending kita ngelakuin talk less, do more juga, deh! Sedikit bicara, banyak bekerja. Sedikit bicara, banyak beramal! Menurut aku, kalimat itu tuh kayak versi mini dari perkataan Umar bin Abdul Aziz yang nyampein bahwa, “Siapa yang menghitung-hitung perkataannya dibanding amalnya, tentu ia akan sedikit bicara kecuali dalam hal yang bermanfaat.” (Ibnu Rajab Jâmi’ al ‘Ulûm wa al Hikam, 1/291)

Aku, sih udah pasti setuju, soalnya kalau diperhatiin, lebih banyak orang yang action dengan zakat, bantuin orang-orang yang nggak mampu, tapi mungkin banyak di antara mereka yang nggak sadar kalau perkataan yang mereka ucapin itu bikin dosa. Misalnya aja nggak sengaja manggil seseorang pake nama hewan, atau ngucap sumpah palsu buat ngelindungin dirinya sendiri. Melebih-lebihkan sesuatu juga termasuk berbahaya lho, soalnya bisa berbohong jatuhnya.

Well, kesimpulannya sih, kita nggak cuma ninggalin PPAP yang nggak bermanfaat, tapi juga ninggalin semua hal yang nggak bermanfaat dan cuma buang-buang waktu kita yang nggak seberapa di dunia. Kita kan nggak tahu, kapan bakal dipanggil Allah nantinya, jadi ayo manfaatkan waktu kita di dunia yang nggak seberapa ini buat nyempurnain tanda baik Islam kita!

Teng tong, apakah kamu semua sadar, di atas tadi aku menggunakan kata ‘kita’? Bingo, seratus deh buat yang sadar. Sobat sekalian, jangan kamu kira aku nulis kayak gini karena aku sudah masuk kategori ‘tanda baik Islam’, karena kalau kamu mikir kayak gitu, maka kamu pasti salah!

Aku nulis kayak gini, buat ngajak kamu dan diri aku sendiri buat berubah ke arah yang lebiiih baik lagi. Jadi, Bro en Sis, ayo sama-sama buat berubah ke arah yang lebih baik mulai dari hal kecil kayak ninggalin PPAP dan sejenisnya! Nggak usah buru-buru mau langsung seketika njadi baik dan bener, perlahan asalkan konsisten aja!

So Bro en Sis, tetap semangat buat jadi lebih baik, ya! [Zadia “willyaaziza” Mardha]

Tulisan ini dikutip dari buletin gaul islam yang di tulis oleh O. Solihin

Minggu, 11 Desember 2016

Maaf kok artinya Afwan,, Tau kenapa.??

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Tidak terlintas dalam pikiran saya kenapa saya ingin mengayunkan jemari saya untuk membahas ini,Sekedar uneq-uneq yang mengganjal dihati.Sorry,..maaf kata ini selevel maknanya dengan kata afwan.Mungkin perbedaan subyek yang menggunakan saja. Nah,kata ” afwan ” ini muncul beriringan dengan kata “ikhwan,akhwat,syukran, jazakillah” dsb. Komunitas ” anak mushala“,hehe ^_^ paradigma yang sebenernya tidak terlalu urgen untuk dibahas di kalangan masyarakat biasa. Hanya eksistensinya saja yang berbeda..

(zaman baheula),,ana sering denger temen2 klo ngucapin"maaf" itu pke kata AFWAN.
Ana pun terbiasa dgn ucapan itu,beda halnya ketika ana berada di lingkungan orang2 timur tengah,,mereka mengucapkan AFWAN itu klo orang bilang "Terimakasih" di jawabnya afwan.
hmm..sempet bingung bin aneh,,koq orang bilang terimakasih di jawab maaf..hehe..
dan klo orang timur tengah bilang MAAF=ASYIF bukan afwan kayak kita2 yg terbiasa dgn pengucapan "afwan"klo mau minta maaf.

Ana bikin note ini BUKAN NGAJAKIN DEBAT ,cuman ingin share sedikit ilmu yg ana tau.
sebenarnya makna kata dlm bahasa arab begitu luas dan berbeda2 arti,tergantung penempatannya.Ana gak bilang klo kita GAK BOLEH ngucapin maaf pake kata AFWAN.

Karena sebenernya jika di rinci, kata ‘afwan mempunyai kalimat lengkap Asta’fika yang artinya aku benar-benar minta maaf kepadamu.
LALU KENAPA donk ....orang arab klo bilang afwan adalah ucapan jawaban dri syukran??mau tau??beneran??hhee..

jadi gini....
Ada yang bisa kita pelajari dari kebiasaan orang Arab ini. Ketika diucapkan padanya kata Syukran maka jawabannya adalah ‘Afwan. Mereka masih merasa perlu meminta maaf ketika sudah berbuat baik kepada seseorang. Mereka merasa bahwa seharusnya masih bisa melakukan lebih daripada itu, namun yang dilakukan hanya sebatas itu. Sehingga masih merasa perlu mengucap kata ‘Afwan.

Bingung ya? Saya juga bingung gimana mau ngejelasinnya…(hehe)
Begitulah kurang lebih konsep syukran dan ‘afwan. Tidak seperti orang Indonesia yang kalo diucapkan padanya terima kasih, maka jawabannya adalah sama-sama. Seolah dia memang pantas untuk mendapatkan ucapan terima kasih itu. Yang dilakukan orang Indonesia ini sama dengan yang dilakukan oleh orang yang menggunakan bahasa Inggris. Thank You, maka jawabannya adalah you’re welcome atau doesn’t mind.

Saya lebih sepakat dengan kebiasaan orang Arab mengenai konsep terima kasih ini.
Satu hal lagi, orang Arab atau orang yang menggunakan bahasa Arab, sangat senang sekali dalam tutur katanya mendoakan orang lain. Misalnya dalam pengumuman hasil ujian. Maka selain Lulus, istilah lainnya adalah bukan Tidak Lulus, melainkan Semoga Allah Mengizinkan di lain waktu.

Sungguh indah sekali jika kita senang menebar doa kepada lawan bicara kita dalam keseharian kita..
LALU setelah muter2 ngomongin afwan mau diambil yg mana niih klo ngucapin maaf..

yaaa..mau MAAF=AFWAN ....mangga wae...teu nanaon..
mau MAAF=ASYIF juga mangga.....no problem....hehe
Salaam Ukhuwah

Sabtu, 10 Desember 2016

Kini saatnya Hijrah Menuju Kebaikan

Perjalanan ini sudah panjang, sobat. Artinya pula, Islam sudah menorehkan banyak jejak bagi dunia selama lebih dari 1400 tahun. Luar biasa. Masya Allah. Alhamdulillah.

Lalu, bagaimana dengan kita? Kalo mau dipikir-pikir sih, setiap hari juga kita menjejakkan sejarah dalam kehidupan kita. Banyak sudah peristiwa kita lalui dan rasakan. Sayangnya, banyak di antara kita yang melupakan (atau bahkan mengabaikan?) begitu saja. Tanpa ada hal yang istimewa dan memberi kesan dan manfaat. Rugi ya? Tentu saja. Sebab, selain waktu terus berputar tanpa kenal kompromi dan nggak peduli apakah manusia mau memanfaatkan atau mengabaikan waktu bagi mereka, juga waktu tak akan kembali dan menyapa kita untuk segera sadar. Tidak. Waktu terus berjalan lurus ke depan. Kita yang kudu menyesuaikan agar tak tertinggal atau malah terlindas tak bersisa.

Hijrah dan sejarah penanggalan hijriyah
Oya, ngomong-ngomong soal hijrah, ini tentu ada kaitannya dengan penanggalan hijriyah. Mau tahu sejarahnya? Begini latar belakangnya. Sebagian besar saya kutip dari wesbite muslim.or.id (dengan sedikit perubahan dan perbaikan yang disesuaikan dengan gaya remaja—termasuk ejaan).
Berawal dari surat-surat tak bertanggal, yang diterima Abu Musa al-Asy-‘Ari radhiyahullahu’anhu; sebagai gubernur Basrah kala itu, dari khalifah Umar bin Khatab. Abu Musa mengeluhkan surat-surat tersebut kepada Sang Khalifah melalui sepucuk surat,

إنه يأتينا منك كتب ليس لها تاريخ
“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Anda, tanpa tanggal.”

Dalam riwayat lain disebutkan,

إنَّه يأتينا مِن أمير المؤمنين كُتبٌ، فلا نَدري على أيٍّ نعمَل، وقد قرأْنا كتابًا محلُّه شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي

“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin, namun kami tidak tau apa yang harus kami perbuat terhadap surat-surat itu. Kami telah membaca salah satu surat yang dikirim di bulan Sya’ban. Kami tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”

Sobat gaulislam, tersebab kejadian ini kemudian Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu mengajak para sahabat untuk bermusyawarah; menentukan kalender yang nantinya menjadi acuan penanggalan bagi kaum muslimin. Ketika berlangsung musyawarah antara Khalifah Umar bin Khatab dan para sahabat, muncul beberapa usulan mengenai patokan awal tahun.

Ada yang mengusulkan penanggalan dimulai dari tahun diutus Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Sebagian lagi mengusulkan agar penanggalan dibuat sesuai dengan kalender Romawi, yang mana mereka memulai hitungan penanggalan dari masa raja Iskandar (Alexander). Yang lain mengusulkan, dimulai dari tahun hijrahnya Nabi shallallahu’alaihiwasalam ke kota Madinah. Usulan ini disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Hati Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu ternyata condong kepada usulan yang disampaikan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,

الهجرة فرقت بين الحق والباطل فأرخوا بها

“Peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang benar dan yang batil. Jadikanlah ia sebagai patokan penanggalan.” Kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu mengutarakan alasan.

Akhirnya para sahabatpun sepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun. Landasan mereka adalah firman Allah ta’ala,

لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى? مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيه َ

Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. (QS at-Taubah [9]:108)

Para sahabat memahami makna “sejak hari pertama” dalam ayat, adalah hari pertama kedatangan hijrahnya Nabi. Sehingga momen tersebut pantas dijadikan acuan awal tahun kalender hijriyah.
Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahillah dalam Fathul Bari menyatakan, “Pelajaran dari as-Suhaili: para sahabat sepakat menjadikan peristiwa hijrah sebagai patokan penanggalan, karena merujuk kepada firman Allah ta’ala surah at-Taubah ayat 108 tersebut.

Sudah suatu hal yang maklum; maksud hari pertama (dalam ayat ini) bukan berarti tak menunjuk pada hari tertentu. Nampak jelas ia dinisbatkan pada sesuatu yang tidak tersebut dalam ayat. Yaitu hari pertama kemuliaan Islam. Hari pertama Nabi shallallahu’alaihiwasallam bisa menyembah Rabnya dengan rasa aman. Hari pertama dibangunnya masjid (red. masjid pertama dalam peradaban Islam, yaitu masjid Quba). Karena alasan inilah, para sahabat sepakat untuk menjadikan hari tersebut sebagai patokan penanggalan.
Dari keputusan para sahabat tersebut, kita bisa memahami, maksud “sejak hari pertama” (dalam ayat) adalah, hari pertama dimulainya penanggalan umat Islam. Demikian kata beliau. Dan telah diketahui bahwa makna firman Allah ta’ala: min awwali yaumin (sejak hari pertama) adalah, hari pertama masuknya Nabi shallallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya ke kota Madinah. Allahua’lam. ” (Fathul Bari, 7/335)

Saudaraku yang berbahagia, perbincangan berlanjut seputar penentuan awal bulan kalender hijriyah. Sebagian sahabat mengusulkan bulan Ramadhan. Sahabat Umar bin Khatab dan Ustman bin Affan mengusulkan bulan Muharram.

بل بالمحرم فإنه منصرف الناس من حجهم

“Sebaiknya dimulai bulan Muharam. Karena pada bulan itu orang-orang usai melakukan ibadah haji.” Kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu. Akhirnya para sahabatpun sepakat.

Alasan lain dipilihnya bulan muharam sebagai awal bulan diutarakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah, “Karena tekad untuk melakukan hijrah terjadi pada bulan muharam. Dimana baiat terjadi dipertengahan bulan Dzulhijah (bulan sebelum muharom). Dari peristiwa baiat itulah awal mula hijrah. Bisa dikatakan hilal pertama setelah peristiwa bai’at adalah hilal bulan muharam, serta tekad untuk berhijrah juga terjadi pada hilal bulan muharam (red. awal bulan muharam). Karena inilah muharam layak dijadikan awal bulan. Ini alasan paling kuat mengapa dipilih bulan muharam.” (Fathul Bari, 7/335)

Dari musyarah tersebut, ditentukanlah sistem penanggalan untuk kaum muslimin, yang berlaku hingga hari ini. Dengan menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun dan bulan muharam sebagai awal bulan. Oleh karena itu kalender ini populer dengan istilah kalender hijriyah.

Ayo, tinggalkan keburukan!
Sesuai judulnya dan juga saat dihubungkan dengan sejarah penanggalan hijriyah, maka momen ini nggak ada salahnya kalo dijadikan sebagai cambuk kesadaran untuk hijrah menuju kebaikan. Itu sebabnya, mulai sekarang kita belajar untuk berani meninggalkan keburukan. Harus berani dan punya semangat untuk meninggalkan keburukan. Kebaikan harus segera disambut dan dilaksanakan. Bahkan berlomba-lomba dalam membuat kebaikan.

Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.” (QS al-Baqarah [2]: 148)

Suatu ketika ada seseorang yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya bertanya, 
 “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?” Lalu, beliau menjawab, “Bersedekah selama kamu masih sehat, bakhil (suka harta), takut miskin, dan masih berkeinginan untuk kaya. Dan janganlah kamu menunda-nunda, sehingga apabila nyawa sudah sampai di tenggorokan maka kamu baru berkata, “Untuk fulan sekian dan untuk fulan sekian’, padahal harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli warisnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Saudaraku yang baik hati, Rasul mulia shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
 “Bersegeralah menunaikan amal-amal kebajikan. Karena, saatnya nanti akan datang banyak fitnah, bagaikan penggalan malam yang gelap gulita. Betapa bakal terjadi seseorang yang di pagi hari dalam keadaan beriman, di sore harinya ia menjadi kafir. Dan seseorang yang di waktu sore masih beriman, keesokan harinya menjadi kafir. Ia menjual agamanya dengan komoditas dunia.” (HR Bukhari dan Muslim)

Yuk, jangan ditunda-tunda lagi untuk berbuat baik (dan tentu saja sekaligus segera meninggalkan keburukan). Kita tiap hari menikmati hidup dan kehidupan yang Allah Ta’ala berikan. Aneh banget kalo sampe kita nggak bersyukur dan nggak mau berubah untuk jadi lebih baik. So, mumpung momen awal tahun baru hijriyah, di bulan Muharram pula, kita nyadar dan segera benahi diri jadi lebih baik. Itu sebabnya, yang masih pacaran, yang masih sering bolos sekolah, masih nggak hormat sama ortu dan guru, masih sering maen judi, sering nenggak miras, hobi tawuran dan seabrek kemaksiatan lainnya, segera hentikan, jauhi, dan tinggalkan. Cukup sampe di sini. Lalu, isi dengan beragam kebaikan berupa ibadah dan amal shalih lainnya. Berdoa selalu agar hati kita Allah Ta’ala tetapkan dalam Islam dan kebaikannya. Semangat!

Tulisan ini di kutip dari[O. Solihin | Twitter @osolihin]

Copyright @ 2013 Sandi Smiter.